Sabtu, 21 Desember 2019

Catatan Kemah Literasi di Desa Historis, Maor, Kabupaten Muratara

Ditemani segelas kopi dan diiringi oleh alunan merdu suara hujan dibilik surga kecilku, Aku mulai mengingat lagi betapa indahnya tempat yang baru saja Aku kunjungi beberapa hari lalu. Rasanya untuk move on saja cukup sulit dari ingatan-ingatan perjalanan singkat yang mengesankan itu.'
 Aku teringat ketika Aku diajak sahabatku Arsi dan Lendra untuk menahan laju kaki dan bergegas menuju rooftop tempat ibadah yang sangat eksotis itu. Ya Masjid An-Nur, sebuah masjid yang mempunyai gaya bangunan yang cukup unik. Masjid ini tepat berada tak jauh dari bibir sungai pembatas antara Desa Maor Baru dan Desa Maor lama di kabupaten Muratara. Terang saja, saat itu Aku antusias sekali dengan tempat ini, karena tak semua masjid rooftopnya bisa
dijadikan suatu tempat yang instagramble buat 
berselfie-selfie ria. Bagi yang pernah menapaki kakinya di tempat ini, Ia akan disuguhkan pemandangan sungai yang indah, jembatan pemisah desa yang epik, dan juga atap-atap rumah panggung yang membentang indah dari sudut ke sudut. Sambil menghirup udara yang segar dikala sore itu, Aku sangat bersyukur karena bisa menapaki kakiku di tempat yang penuh historis itu.


Sebelum Aku mengunjungi masjid An-Nur sebenarnya Aku juga diajak ke tempat yang historis yakni makam keturunan empunya pendiri desa yakni makam Bunayu. Tempat tersebut dijadikan tempat bernostalgia bagi masyarakat dan pengunjung yang ingin mengetahui banyak hal asal mula dari desa tersebut. Kala itu, Aku tidak hanya tertarik siapa ansestornya desa tersebut, Aku juga bahkan sangat tertarik bentuk makam yang tak seragam arahnya. Dari beberapa makam,arah kepala makamnya tak sama. Hal ini menyebabkan Aku bertanya-tanya. Apakah mereka penganut islam? Kalau Iya, apakah mereka kepala makam arahnya tak sama atau ada yang tak menghadap kiat? Atau orang-orang dulu tidak terlalu paham dengan spasial? Atau orang yang memugar salah menentukan spasialnya? Semakin Aku bertanya semakin Aku berprasangka, tapi pertanyaan ini jangan dianggap yang menghina ya, ini hanya rasa penasaranku yang belum terjawab hingga Aku meninggalkan makam tersebut.

Selain masjid jamik dan makam keramat yang Aku kunjungi, Aku juga diajak oleh kawan-kawan ke tempat pemandian yang asyik yakni sungai batu apa dan tepian batu lompat harimau. Filosofis memang, penamaan tempat-tempat yang Aku kunjungi hari itu penuh dengan alasan dan makna yang mendalam.

Ketika Aku mengunjungi situs-situs menarik dan historis itu, di tengah-tengah perjalanan Aku menemukan
pohon salam yang sedang berbuah
beberapa buah yang jarang dan bahkan belum pernah ku temui. Salah satunya yakni adanya buah durian daun, durian ini sangat unik dikarenakan durinya yang lebih panjang dan lebih banyak daripada duri durian pada umumny. Rekanku Asri mengatakan ‘Durian ini hanya bisa ditemui disini dan hampir tidak pernah saya temui di luar sana.’ Selanjutnya Aku juga menemui dan mencicipi buah yang seumur hidupku belum pernah Aku kutemui, Iya buah salam. Salam yang Sepengetahuanku hanya daunnya saja sangat bermanfaat sebagai penyedap makanan tetapi hari itu Aku dikejutkan dengan buahnya yang bisa dimakan denga rasa yang yang agak kecut dan sepet yang rasanya mirip-mirip rasa jambu air. Selain buah durian daun dan daun salam, ada satu lagi yang ku temui hari itu yakni buah rambutan hutan. Sayangnya saat itu buahnya masih berbentuk putik sehingga tak bisa Aku cicipi.


Buah-buah itu tidak hanya unik bagiku tetapi langsung memberiku inspirasi, gimana kalo buah-buah itu dibudidayakan dan dijadikan ikon bagi kedua desa tersebut.

Sesaat Aku mengingat kegiatan-kegiatanku kala itu, Aku juga mengingat streotipe yang dibincangkan kebanyakan oleh orang yang bahkan belum pernah datang ke desa tersebut. Banyak orang yang menganggap bahwa daerah tersebut tidak aman untuk berkegiatan dan disinggahi. Dua hari dan satu malam Aku disitu bersama teman-teman kemah literasi dari Majelis Lingkaran, IK3M, Bennyinstitute, Merdesa, Ceria Semesta, Karang Taruna, dan TBM Hesti Mora cukup untuk mematahkan mitos-mitos yang negatif tentang daerah tersebut bahkan sebaliknya orang-orang di desa Maor Muratara itu sangatlah ramah dan baik kepada para pendatang.

Akhirnya sebelum kami melajukan mobil kami ke Lubuklinggau, Aku dan kawan-kawan singgah terlebih dahulu ke tempat wisata populer dan eksotis yang wajib dikunjungi yakni Danau Rayo.

Jadi bagi kawan-kawan yang mau berkunjung ke Muratara khususnya Maor jangan dengarkan streotipe-streotipe yang belum tentu kebenarannya.

Berikut sedikit gambaran perjalanan kami yang kami abadikan:



                                                                      


                                                                     

 

         

Senin, 18 November 2019

Di Balik Sebuah Kata 'Silampari'

Duduk di barisan kursi yang cukup dekat dengan layar, hari itu Aku menyaksikan pemutaran film yang genrenya Aku sukai. Dokumenter, film yang memuat banyak hal menarik walaupun jarang menampilkan sisi romantisme layaknya film-film yang digemari oleh remaja pada umumnya.

Duduk disamping dua wanita cantik semakin membuatku semangat untuk menonton film yang akan ditayangkan pada sore itu. 'Silampari, setelah 2001', ya!! itu judul film yang Aku tonton di salah satu  ruang bisokop yang ada di kotaku tercinta, Lubuklinggau. 

Penayangan film dokumenter itu juga turut dihadiri oleh wakil walikota Lubuklinggau dan jajarannya, para narasumber film tersebut, penikmat seejarah dan orang-orang yang akan menciptakan sejarah termasuk saya heeee.

Tapi sepenting apapun orang yang hadir di ruang itu lebih penting lagi kalau kita membahas dari konten filmya heee. 

Ok, film yang mempunyai judul seksi itu membuatku terpantik untuk mengetahui apa yang penting dan paling penting informasi yang bisa Aku dapatkan.

Ternyata, sesaat dan sesudah penayanagn film itu Aku sedikit-sedikit membuat diskusi kecil dengan dua gadis cantik disampingku tadi, bukan diskusi tentang masa depan ya heee tetapi diskusi tentang apa yang bisa kami ambil himmahnya dari film tersebut.



'Silampari' suatu kata yang mungkin cukup menarik perhatian orang terutama orang-orang yang tertarik tentang sejarah dan budaya sehingga munculnya film besutan sang produser Benny Arnas selaku founder Bennyinstitute dengan judul 'Silampari, setelah 2001-Antara Lubuklinggau dan Musirawas, Dimana putri yang hilang itu merumahkan dirinya?'. Ketertarikan ini terkadang tidak selalu positif itu yang Aku perhatikan dari beberapa perkataan beberapa orang.
Selama Aku menonton, Aku bertanya-tanya apakah kata 'silampari' hingga hari ini belum mencapai sepakat baik dari penulisan ataupun pelafalan. Karena klaim mengenai kata itu sendiri masih terlihat jelas dari diskusi yang disampaikan sesaat dan setelah film itu ditayangkan. Menurutku, sah-sah saja orang memaknai suatu kata selama mereka mempunyai landasan filosofis yang bisa diterima akal dengan pembuktian yang beragam karena makna kata itu bersifat arbitrer (mana suka). Jadi berdasarkan prinsip ini tidak ada yang salah dong heeee, tapi perlu juga untuk mengklaim makna suatu kata kita mengaitkannya dengan beberapa elemen lainnya jadi konteksnya harus diperjelas dan budaya juga tidak bisa dikesampingkan supaya tidak ada keambiguan.

Selain pemaknaan suatu kata yang juga  masih diperdebatkan, adanya klaim siapa yang kira-kira pantas untuk memiliki kata silampari yang seksi itu, katanya heee juga sangat terlihat jelas. Aku sih tidak masalah siapa saja yang mau mengakui kata ini menjadi miliknya, bukannya bahasa itu milik semua orang ya lagipula masyarakat banyak yang tidak perduli dengan kata itu heee. Jadi yang suka mengkalim itu siapa ya? masayarakat atau pemerintah. Bukannya maksud nyinyirin orang-orang yang mengklaim kata itu dan bukan juga Aku tidak perduli dengan kata itu. Aku malah pengennya, pemerintah dan masyarakat lebih mementingkan moral value dari kata itu daripada sibuk mengklaim itu punya siapa. Terlepas cerita ini memang legenda atau mitos, maka hal yang paling urgen ialah bagaimana caranya dengan kata magis ini bisa mempersatukan, menanamkan nilai-nilai moral, nilai sosial dan historis bagi masyarakat banyak yang ada di Lubuklinggau dan Musirawas termasuk juga Muratara. 

Jadi hal terakhir yang bisa Aku nyinyirin ialah janganlah suatu kata itu dijadikan suatu ikon politik yang kedepannya bisa menimbulkan kegaduhan-kegaduhan kecil dan sebaliknya kata itu jadikan alat kita untuk berpikir lebih jauh dan memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk berdiskui  sehingga memberkan kontribusi-kontribusi positif.

Eitss, hampir lupa, kalau bisa di film dokumenternya juga jangan hanya menampilkan ahli sejarah dan narasumbernya juga biar berimbang masukin juga dong pendapat dari masyarakat umum apakah mereka tahu dan perduli dengan kata 'silampari' ini. Over all, film ini cocok untuk semua kalangan dan banyak juga hal-hal positif dan pengetahuan baru
yang bisa didapatkan.

Sabtu, 09 Februari 2019


Bertanya atau Menjawab
 Mana yang lebih penting  ?????




Setiap detik kita, manusia, selalu dimunculkan dengan pertanyaan-pertanyaan baru tentang apa yang ada di sekitar kita sehingga kita berusaha untuk mencari jawaban-jawaban atas pertanyan-pertanyaan tersebut dengan mencarinya dari berbagai sumber.
Kemudian dari dua aktivitas ini, manakah yang lebih penting bagi kita “bertanya atau menjawab”????

Kedua aktivitas ini sama-sama mempunyai pandangan yang positif dan negatif dari setiap persona.
Coba kita lihat aktivitas bertanya, aktivitas yang satu ini akan menjadi positif ketika pertanyaan itu dianggap bermutu oleh sebagian penyimak dengan standar mereka masing-masing, sementara sebaliknya pertanyaan itu dianggap tidak bermutu jika tidak memuat standar-satndar si-penyimak bahkan  si-penanya akan diabelkan sebagai orang yang  mempunyai kualitas diri yang buruk karena pertanyaannya tidak sesuai standar.

Kemudian dalam aktivitas menjawab, seorang penjawab akan dianggap cerdas jika Ia mampu menjawab pertanyaan seperti apa yg penanya inginkan, namun ketika ada kesalahpengertian dalam menjalankan aktivitas ini secara otomatis penanya akan dilabelkan sebagai orang yang kurang kompeten atau kurang pengetahuan.

Terus, apakah pandangan-pandangan semacam ini berlaku pada setiap tingkatan seperti anak-anak, dewasa bahkan orang tua????

Yuk!! pertama kita lihat bagaimana peristiwa ini, jika terjadi pada anak-anak, aktivitas mana yang lebih penting, bertanya atau menajawab.

Beberapa pandangan menyatakan bahwa bertanya merupakan suatu aktvitas yang lebih penting bagi anak-anak dikarenakan hal ini membuat mereka berpikir lebih jauh dan kreatif tentang apa yang ada di sekitar mereka dan mengenai diri mereka sendiri. Disamping itu, menjawab juga mampu membangun rasa percaya diri  dan keberanian seorang anak yang secara tidak langsung membantu  pengembangan psikis anak. Hal semacam ini juga disampaikan oleh Yuhesti Mora, pendiri TBM, pada hari Minggu (26-01-2018) di Taman olahraga silampari Lubuklinggau yang dalam kesempatan tersebut menyatakan bahwa penting bagi anak-anak untuk bertanya terutama bertanya tentang diri mereka seperti siapa mereka dan apa cita-cita mereka yang mana aktivitas ini penting bagi kehidupan mereka nanti sebagai pencarian jati diri diamana hal ini sering Ia sampaikan kepada adik-adiknya di rumah didiknya. Selanjutnya perempuan lulusan magister pendidikan UPI Bandung tersebut juga menambahkan pernyataan Voltaire, seorang penulis dan filsuf Perancis pada abad pencerahan beberapa tahun silam, yang menyatakan bahwa “Judge a man by his questions rather than his answers” yang berarti  seorang manusia dari pertanyaannya bukan jawabannya.

Namun, pertanyaan selanjutnya muncul “apakah pernyataan ini berlaku untuk pada semua tingkatan???

Terus, apa yang menjadi dasar untuk menjastifikasi seseorang melalui pertanyaannya, kualitas atau kuantitas???

Anak-anak seringkali bertanya dengan tidak mementingkan kualitas pertanyaannya melainkan hanya untuk mendapatkan atensi dari orang-orang sekitarnya walaupun tidak berlaku pada setiap anak.
 Keadaan semacam ini akan berbanding terbalik dengan tingkatan selain anak-anak, pertanyaan akan menjadi lebih diperhatikan kualitasnya dibandingkan kuantitasnya. Karena orang yang sering bertanya ditingkatan ini dianggap sebagai seseorang yang kiurang pengetahuan bahkan dilabeli bodoh, dan apabila seseorang terlalu sering menjawab, juga sering dilabelkan sebagai seorang yang “sok pintar”.

Jastifikasi-jastifikasi pro-kontra semacam ini merupakan suatu hal yang lurah dimana keadaan ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti tingkatan usia, pendidikan, lingkungan, budaya dan tujuan. Maka dari itu, jika kita ingin memberikan pandangan kita mana yang lebih baik, hendaknya kita melihat lebih dalam faktor-faktor tersebut.
Akhirnya, saya juga saya mengutip pernyataan Higgs Boson dalam Yuhesti Mora dalam bukunya The God Particle (Partikel Tuhan) yang mengatakanIf the universe is the answer, what is the question?” Jika semesta ini adalah jawabannya, apa pertanyaannya?.

Selasa, 22 Januari 2019

Diskusi (Revolusi Industri-Sastra) sebagai Penawar Rindu



       Setelah kembali ke kota tercinta, Lubuklinggau, baru sekarang saya menemukan sesuatu yang sangat dirindu-rindukan. Sesuatu itu menjadi penyejuk dahaga karena kehausan yg begitu lama menghampiri diri ini. Kerinduan itu ialah diskusi-diskusi akademik. Biasanya diskusi-diskusi ini sering kali saya ikuti sewaktu masih menjadi mahasiswa dulu. Diskusi yang saya ikuti di hari Minggu, 20 Januari 2018 kemarin merupakan diskusi asyik, santai, dan menyenangkan. Kegiatan ini diinisiasi oleh direktur Benny Institute,Bang Beny Arnas. Diskusi ini berlangsung selama 2 jam yg dimulai dari pukuk 4 sore hingga 6 sore. Saya yang mengikuti kegiatan ini merasa bahwa kegiatan ini luar biasa bermanfaat. Diskusi ini juga berlangsung dengan begitu khidmat. Kala itu Bang Ben, selaku pemateri menampilkan tulisannya dengan judul 'Menjadi ceruk lebar-tanpa dasar-dengan saringan di atasnya'. Judul ini berkaitan besar dengan revolusi industri 4.0 yang berfokus pada revolusi sastra.    
     Dalam penyampaiannya Bang Ben mengatakan bahwa bagaimanapun industri berevolusi maka sastra akan mempunyai peran penting dan akan mampu mempunyai peran disetiap zamannya. Walau bagaimanapun juga sastra baik-baik saja, dengan atau tanpa adanya revolusi. Sastra jauh lebih dulu ada sebelum revolusi industri, lagipula Satra tidak diteropong secara substansial mulai dari revolusi 1.0, 2.0, 3.0 hingga 4.0. Pada era revolusi saat ini, yakni revolusi industri 4.0 yang sedang dan akan kita masuki saat ini, sastra masuk dalam bingkai teropongan arus perubahan. Hal ini ditenggarai oleh munculnya "informasi" sebagai target revolusinya - tentu saja tanpa harus meninggalkan produksi barang dan jasa dalam jumlah massif. Bang Ben, juga menambahkan bahwa ke depan sastra tidak cukup sekadar menjalankan "program kerja" kolaborasi dan alih wahana. Sastra butuh peran aktif keluarga (orang tua) guna sintas guna memastikan generasi hari ini dan masa depan tidak menjadi menjadi ceruk lebar-tanpa dasar-tanpa saringan di atasnya yang dengan mudah didepak oleh artificial inteligence.
      Seketika penyampaian materi selesai dipaparkan oleh bang Ben, para peserta diskusi begitu antusias memberikan pertanyaan, kritik, dan saran memberikan mengenai tulisan yang disampaikan olehnya. Kritik dan saran yang disampaikan oleh peserta diskusi ini, berkenaan dengan hal-hal yang substansial atau secara teknis. Namun dibalik dari kritikan dan saran yang diluncurkan kepada pemateri. Apresiasi yang begitu besar juga datang dari para peserta diskusi. Hal ini disebabkan para peserta diskusi mendapatkan ilmu dan informasi baru mengenai perjalanan revolusi industri- sastra, sebagaimana diketahui bahwa para peserta diskusi tidak seluruhnya mempunyai latar belakang keilmuan sastra, melainkan mereka berasal dari keilmuan lainnya. Pada akhir kegiatan diskusi, para peserta menyampaikan bahwa kegiatan diskusi semacam ini, hendaknya selalu dilestarikan keberlangsungannya dikarenakan kegiatan semacam ini sangat jarang dan begitu penting bagi para generasi muda untuk memperoleh pengetahuan mengenai sastra ataupun keilmuan lainnya.    


Oleh: Muhammad Yazir