Bertanya atau Menjawab
Mana yang lebih penting ?????
Setiap
detik kita, manusia, selalu dimunculkan dengan pertanyaan-pertanyaan baru
tentang apa yang ada di sekitar kita sehingga kita berusaha untuk mencari
jawaban-jawaban atas pertanyan-pertanyaan tersebut dengan mencarinya dari
berbagai sumber.
Kedua
aktivitas ini sama-sama mempunyai pandangan yang positif dan negatif dari
setiap persona.
Coba kita
lihat aktivitas bertanya, aktivitas yang satu ini akan menjadi positif ketika
pertanyaan itu dianggap bermutu oleh sebagian penyimak dengan standar mereka
masing-masing, sementara sebaliknya pertanyaan itu dianggap tidak bermutu jika
tidak memuat standar-satndar si-penyimak bahkan si-penanya akan diabelkan sebagai orang yang mempunyai kualitas diri yang buruk karena
pertanyaannya tidak sesuai standar.
Kemudian
dalam aktivitas menjawab, seorang penjawab akan dianggap cerdas jika Ia mampu
menjawab pertanyaan seperti apa yg penanya inginkan, namun ketika ada
kesalahpengertian dalam menjalankan aktivitas ini secara otomatis penanya akan
dilabelkan sebagai orang yang kurang kompeten atau kurang pengetahuan.
Terus,
apakah pandangan-pandangan semacam ini berlaku pada setiap tingkatan seperti anak-anak,
dewasa bahkan orang tua????
Yuk!!
pertama kita lihat bagaimana peristiwa ini, jika terjadi pada anak-anak,
aktivitas mana yang lebih penting, bertanya atau menajawab.
Beberapa pandangan
menyatakan bahwa bertanya merupakan suatu aktvitas yang lebih penting bagi
anak-anak dikarenakan hal ini membuat mereka berpikir lebih jauh dan kreatif
tentang apa yang ada di sekitar mereka dan mengenai diri mereka sendiri. Disamping
itu, menjawab juga mampu membangun rasa percaya diri dan keberanian seorang anak yang secara tidak
langsung membantu pengembangan psikis
anak. Hal semacam ini juga disampaikan oleh Yuhesti Mora, pendiri TBM, pada
hari Minggu (26-01-2018) di Taman olahraga silampari Lubuklinggau yang dalam
kesempatan tersebut menyatakan bahwa penting bagi anak-anak untuk bertanya
terutama bertanya tentang diri mereka seperti siapa mereka dan apa cita-cita
mereka yang mana aktivitas ini penting bagi kehidupan mereka nanti sebagai
pencarian jati diri diamana hal ini sering Ia sampaikan kepada adik-adiknya di
rumah didiknya. Selanjutnya perempuan lulusan magister pendidikan UPI Bandung
tersebut juga menambahkan pernyataan Voltaire, seorang penulis dan filsuf
Perancis pada abad pencerahan beberapa tahun silam, yang menyatakan bahwa “Judge a man by his questions rather than his
answers” yang berarti seorang
manusia dari pertanyaannya bukan jawabannya.
Namun, pertanyaan
selanjutnya muncul “apakah pernyataan ini berlaku untuk pada semua tingkatan???
Terus,
apa yang menjadi dasar untuk menjastifikasi seseorang melalui pertanyaannya,
kualitas atau kuantitas???
Anak-anak
seringkali bertanya dengan tidak mementingkan kualitas pertanyaannya melainkan
hanya untuk mendapatkan atensi dari orang-orang sekitarnya walaupun tidak
berlaku pada setiap anak.
Keadaan semacam ini akan berbanding terbalik dengan
tingkatan selain anak-anak, pertanyaan akan menjadi lebih diperhatikan kualitasnya
dibandingkan kuantitasnya. Karena orang yang sering bertanya ditingkatan ini
dianggap sebagai seseorang yang kiurang pengetahuan bahkan dilabeli bodoh, dan
apabila seseorang terlalu sering menjawab, juga sering dilabelkan sebagai
seorang yang “sok pintar”.
Jastifikasi-jastifikasi
pro-kontra semacam ini merupakan suatu hal yang lurah dimana keadaan ini
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti tingkatan usia, pendidikan, lingkungan, budaya
dan tujuan. Maka dari itu, jika kita ingin memberikan pandangan kita mana yang
lebih baik, hendaknya kita melihat lebih dalam faktor-faktor tersebut.
Akhirnya,
saya juga saya mengutip pernyataan Higgs Boson dalam Yuhesti Mora dalam bukunya The God Particle (Partikel Tuhan) yang mengatakan “If
the universe is the answer, what is the question?” Jika semesta ini adalah
jawabannya, apa pertanyaannya?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar